28 November, 2012

Jangan Meletakkan Dunia dalam Qalbu


Tegas, lugas dan kukuh dengan pendirian. Itulah kesan yang muncul pada figur Habib Ahmad Fahmy bin Abubakar Al’Aydrus.


Dalam suatu acara Maulid, ketika memberikan taushiyah, dengan suaranya yang lantang dan keras ia mengajak muhibbin untuk kembali menengok sejarah dan tidak sekali-kali melupakan jasa para pendakwah yang pertama kali membawa Islam ke Nusantara.

“Atas izin Allah, penduduk negeri ini kini menjadi pemeluk Islam yang terbesar di dunia. Dakwah yang dilakukan oleh para keturunan Rasulullah SAW itu tidak ada yang menggunakan kekerasan, mereka semua berhasil merebut hati para penduduk, karena hati mereka bersih dan ikhlas. Hanya pendakwah yang berhati bersih dan ikhlas yang bisa memberikan pengaruh dan diterima oleh pendengarnya,” ujar Habib Fahmy lantang dengan suara baritonnya.

Menurut Habib Fahmy, dengan keberkahan para wali dan ulama, atas izin Allah negeri ini bisa merdeka. “Tapi sekarang ini mungkin anak-anak kita lebih kenal Usamah bin Laden dibanding perjuangan dakwah Wali Songo. Dalam buku sejarah, pemerintah sebaiknya memasukkan bagaimana perjuangan, metode dakwah dan jasa-jasa Wali Songo,” saran Habib Fahmy. “Coba pikirkan bagaimana cara mengubah warga negeri ini menjadi mayoritas Islam. Ini peran siapa?”

Keberhasilan itu, menurut Habib Fahmy, tentu ada kuncinya. “Kuncinya adalah ruhama (kasih sayang) dan bil hikmah. Masuknya Islam ke Indonesia penuh kedamaian, karena memang Islam adalah agama yang damai. Ini yang harus selalu diingat.”


Kesaksian Kuku Jari Kaki
Habib Ahmad Fahmy bin Abubakar Al‘Aydrus lahir di Surabaya, 7 September 1965. Beliau terjun ke medan dakwah sejak remaja di Surabaya. Ia belajar di Bondowoso kepada Ustadz Abdullah Abdun dan Habib Hasan Baharun, lalu pernah juga belajar dengan Ustadz Umar bin Ahmad Baraja, pengarang kitab Akhlaq lil Banin. Pada 1981 ia mulai berdakwah di Jakarta atas bimbingan Habib Novel bin Salim Bin Jindan.

Melihat potensi dan bakat dakwah yang Habib Fahmy miliki, ia diminta oleh Habib Husein bin Abdullah Kramat Empang untuk mengasuh Majelis Ta’lim An-Nur Kramat Empang, Bogor, setiap Kamis Sore.

Pengalamannya yang panjang dalam berdakwah, disertai dengan cobaan jatuh bangun, memberikan bekal yang berharga dalam berhubungan dengan berbagai lapisan, termasuk penguasa.

“Dulu, di zaman Orde Baru, saya sudah kenyang diintimidasi sampai disiksa, karena mempertahankan pendirian saya. Kebenaran harus dipertahankan dan dikatakan, walau sangat pahit,” tuturnya mantap sambil menunjuk kuku jari kakinya yang tidak normal karena pernah disiksa. Itulah, menurut Habib Fahmy risiko amar ma’ruf nahi munkar.

"Setiap umat Rasulullah SAW itu dituntut untuk menjalankan amar ma'ruf nahi munkar. Dan Allah SWT sudah memberikan prioritas kepada umat Nabi Muhammad, yaitu amar ma'ruf nahi munkar dan beriman kepada Allah, agar jadi umat terbaik (khairu ummah)" kata ayah dua anak ini.

“Untuk amar ma’ruf, itu mungkin lebih ringan karena kita mengajak: Ayo shalat, ayo ta’lim, ayo sedekah. Tapi kalau nahi munkar, risikonya berat. Bisa tersingkirkan, ditahan, disiksa, diintimidasi, terfitnah.”

Menurut Habib Fahmy, Allah SWT telah memberikan jalan, dan itu telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu, nahi munkar bisa dihadapi dengan 3 cara. Dengan menggunakan kekuatan tangan. Ini bisa dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan. Kalau tidak sanggup dengan tangan, lakukan dengan kekuatan lisan, dengan ucapan. Ini tugas pendakwah, ulama, dan habaib.

Jika tidak bisa menggunakan dua kekuatan itu, lakukan dengan hati, dengan doa. Inilah yang minimal dapat kita lakukan.

Bila penguasa, misalnya, tidak mau menggunakan kekuasaannya untuk mencegah kemunkaran dan para ulama sudah sering mengingatkan, azab Allah akan ditimpakan kepada semuanya, termasuk kepada mereka yang tidak berbuat.

“Jangan hanya menjadikan ulama, habaib dan pendakwah sebagai sarang wallet, yang dikerumuni ketika butuh suaranya, tapi habis itu ditinggalkan, karena sudah tidak diperlukan,” ujar Habib Fahmy menyindir.

Berbagai persoalan bangsa akan menjadi berlarut-larut jika pemerintah, sebagai pembuat keputusan, tidak tegas sikapnya. Ini juga bisa mengakibatkan pengambilalihan peran pemerintah oleh berbagai elemen yang merasa tidak puas. “Tugas pemerintah itu mengatur, membuat keputusan. Jangan membuka peluang konflik dan mengambangkan suatu masalah.”

Kebaikan itu Dakwah
Menurut Habib Fahmy, pada dasarnya setiap muslim itu pendakwah. Apa-apa yang dilakukan oleh seorang muslim dan muatannya kebaikan, itu adalah dakwah.

Dakwah juga harus sesuai dengan konteks. Ada yang melalui lisan, kesenian, budaya, pendek kata semua lini kehidupan.

Dalam berdakwah, mengutip surah An-Nahl ayat 125, Habib Fahmy mengajak manusia ke jalan Tuhan dengan hikmah dan pelajaran yang baik. “Bil hikmah itu adalah penuh kasih sayang, belas kasihan. Waktu kita berteriak-teriak keras, hati kita sangat sayang kepada mereka yang kita teriaki itu. Ini demi keselamatan mereka juga, agar tidak terkena masalah.”

Lalu, dihubungkan dengan surah Al-Fath ayat 29, bahwa Rasulullah SAW itu bersikap keras terhadap orang kafir, Habib Fahmy mengatakan, bersikap keras kepada orang kafir artinya harus tegas, tidak ada kompromi dengan mereka bila sudah menyangkut aqidah. “Kalau sekarang kan terbalik, bercium-cium dengan orang kafir, berkasih sayang dengan mereka, tapi keras kepada sesama muslim,” ujarnya.

Sedang di luar masalah aqidah, Nabi sudah memberikan contoh. Yakni, “Nabi pun memberi kesempatan hidup kepada orang kafir, dilarang keras mengganggu mereka kalau tidak mengganggu kita.”

Inti beragama itu, menurut Habib Fahmy, adalah kesadaran tanpa paksaan. Makanya dalam Al-Quran dikatakan, tidak ada paksaan dalam beragama. Demokrasi dalam berbeda pendapat itu dijunjung tinggi. Artinya, sesama orang Islam itu harus saling lapang dada, selama tidak keluar dari Al-Quran dan hadits.

Pembenahan Internal
Rasulullah SAW mengingatkan, suatu saat nanti akan datang suatu masa, orang yang pagi hari beriman sore harinya sudah kafir. Orang menjual agamanya demi sepotong kepentingan dunia. Mereka yang disumpah dengan Al-Quran dan atas nama Allah, menjual sumpahnya untuk harta dan jabatan. “Orang-orang seperti ini menjadikan agama sebagai topeng,” kata Habib Fahmy.

Ia mengajak kita merenungi wasiat Rasulullah SAW bahwa pada akhir zaman nanti akan ada orang yang penampilannya melebihi ulama tapi hatinya seperti serigala, pakaiannya pakaian nabi tapi misinya jahat.

Habib Fahmy juga menyayangkan masyarakat sekarang yang sudah jarang mengaji. “Kalau masyarakat mau mengaji dan duduk dengan ulama, bencana yang akan muncul akan tertolak. Iman itu tumbuh berawal dari ilmu, lalu nanti praktek sholat, puasa dan seterusnya. Banyak orang yang rajin sholatnya tapi makin sombong. Makin dekat dengan agama, malah makin sangar. Mengapa? Karena tidak ada ilmu. Mereka yang berilmu tahu mengapa harus sujud, mengapa harus mencium lantai, mengapa harus rukuk… karena kita ini tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Lalu kenapa harus angkuh dan sombong kepada manusia lain?”

Dalam salah satu nasihat Nabi kepada Imam Ali bin Abi Thalib dikatakan, jika selama 40 hari seseorang tidak duduk di majelis ilmu, hatinya akan beku. “Kalau hati sudah beku, orang itu akan gampang berbuat dosa. Tidak ada penyesalan berbuat dosa, malah bangga.”

Maka, menurut Habib Fahmy, saat ini yang sangat mendesak dan penting dilakukan adalah pembenahan internal umat Islam. Terutama pemahaman agama anak-anak dan remaja, harus terus menerus ditingkatkan.

Setiap habib, ustadz dan ulama harus sadar dengan tanggung jawabnya. Menjadi tokoh agama jangan manja, jangan kolokan, harus terjun langsung ke medan dakwah. Dalam mengajak anak muda, jangan sampai menyinggung perasaan mereka.

Menurut pengasuh Majlis Da’wah Al’Adni Ahlussunnah wal Jama’ah (MADANI) ini, dakwah tidak ada kesulitan kalau niatnya baik dan ikhlas. “Sifat dengki dan hasut harus dibersihkan. Salah satu solusinya adalah sering mengikuti majelis Ratib dan Maulid, untuk mensucikan hati, mengikis sifat-sifat buruk. Kalau ulama sudah terjangkit penyakit hati, umat juga akan sakit. Penyakit itu seperti cinta kedudukan, cinta kemuliaan, cinta pada pujian, tidak mau dikritik, maunya benar sendiri.

Seorang dai jangan sampai gila hormat. Karena sudah dipanggil dengan sebutan ‘ustadz’, sudah jadi pendakwah, merasa hebat, lalu selalu minta dihormati. Kalau sudah ada penyakit itu, tidak akan ada tawadhu’.

Sudah saatnya kita bersatu padu dalam berdakwah, terlebih menghadapi usaha penghancuran umat Islam dari segala sisi. Kalau tidak cepat-cepat mengantisipasi, kita akan hancur.”

Habib Fahmy juga mengingatkan, musibah yang paling berat bagi juru dakwah adalah ketika ucapannya tidak lagi menyentuh jamaah. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena hati si pendakwah belum bersih, ada ujub, ada riya, bahkan ada buruk sangka, ada takabur dan ada tujuan selain Allah.

Pembinaan lain yang juga ditekankan oleh Allah SWT adalah pembinaan keluarga. Dalam surah At-Tahrim ayat 6, Allah memerintahkan agar kita menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Cara menyelamatkan keluarga kita yaitu dengan pendidikan ala Nabi. Nabi sendiri mengatakan, “Aku dididik oleh Rabb-ku dengan sebaik-baik pendidikan.” Berikan pemahaman agama, jangan anak dilepas begitu saja. Kalau tidak bisa mendidik sendiri, carikan ustadz.

Menurut Habib Fahmy, pemahaman agama terhadap anak, yang paling dasar adalah cara beribadah. Cara taharah, cara sholat, membaca bacaan sholat. Kemudian pemahaman yang halal dan haram, yang wajib, sunah dan lain-lain. Lalu nanti, kalau sudah besar, bagaimana cara bergaul. “Jadi, akhlaq dan adab itu harus diberikan dan dipraktekkan.”

Habib Fahmy mengingatkan, orangtua juga harus waspada, jangan sampai meninggalkan anak karena kesibukan ta’lim sendiri, misalnya. Tidak tahu anak bergaul dengan siapa dan dipengaruhi apa. “Kini bermunculan generasi yang dhaif, yang secara fisik bagus tapi akal dan imannya lemah, sehingga aqidahnya mudah digoyang. Orang dulu serba pas-pasan tapi mantap, karena aqidahnya bagus.”

Di samping itu, tak boleh juga dilupakan pengaruh dari luar. “Sekarang kita sering didikte oleh negara luar. Misalnya, ada keinginan untuk menjadikan indonesia seperti Arab Saudi dengan Wahabinya. Tidak bisa, karena Indonesia berbeda dengan Arab Saudi. Lalu ada paham Syiah dari Iran. Juga tidak bisa, karena Indonesia bukan Iran.”

Menurut Habib Fahmy, Islam yang berkembang di Indonesia adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Gayanya, gaya Hadhramaut. Gaya ini lebih disukai, karena peletak awal dakwah di Indonesia bergaya Hadhramaut, yang dipelopori oleh Sunan Ampel.

Maqam Tertinggi
Habib Fahmy menguraikan rahasia agar dapat maqam tertinggi yang diajarkan oleh Habib Abdullah bin Abubakar Al’Aydrus, yaitu dengan jangan meletakkan dunia dalam qalbu. Kalau itu dilakukan, biasanya orang lupa akan mati, seolah ia hidup selamanya. Boleh punya kekayaan, punya harta, tapi hati kita hanyalah untuk Allah.

Lalu jangan merasa lebih baik dari orang lain. Kalau kita melihat orang bertato, pakai anting-anting, lalu kita merasa lebih mulia dari orang itu, berarti kita belum tawadhu’.

Jangan merasa mulia, tapi rasa hinalah disisi Allah. Kemudian, jangan menyebut-nyebut kebaikan dan amal-amal kita, karena belum tentu amal kita itu diterima Allah.

Kekayaan dan kemiskinan seharusnya ada di luar hati, dan tidak mempengaruhi cinta kita kepada Allah.

Pada akhir taushiyahnya Habib Fahmy mengutip ucapan Habib Abdullah Alhaddad, yang mengatakan bahwa ciri-ciri sholat yang diterima Allah adalah dalam hatinya selalu ada rasa hina. Hina di hadapan Allah “Kita hanyalah hamba Allah yang hina dan dhaif. Tanpa karunia dan rahmat Allah, kita tak berarti apa-apa.”

No comments:

Sebelumnya Selanjutnya Home