INSAN KAMIL
SOSOK
KETELADANAN MUHAMMAD SAW
Karya :
DR.Sayyid Muhammad Alwy al-Maliki
BAB I
Bakat dan Sifat
Nabi
Kelanjutan dari Keluwesan Nabi SAW
M. Cara Nabi Memilih Utusan
Kesempurnaan
akal pikiran Nabi SAW terbukti pula dalam memilih utusan yang cerdik pandai
untuk dikirim ke raja dan para penguasa untuk menyampaikan dakwah islamiyah
melalui penjelasan dan penerangan, dan dapat diterima. Hal itu terbukti dalam
sejarah, betapa utusan Nabi SAW itu mengetengahkan dan menguraikan tentang
Islam dan ajarannya di hadapan para penguasa dan raja-raja. Betapa pula
kemantapan dalih yang diucapkan, di samping kelincahan dan kelancaran dalam
berdialog dan berbicara.
Alaa’
bin Hadhramy yang diutus Nabi pada raja Al-Mundzir bin Sawaa, membawa sepucuk
surat beliau dalam dialognya dengan raja tersebut antara lain berkata: “Wahai
Mundzir, Anda adalah seorang besar, tentu besar pula dalam berpikir, maka
janganlah menjadi kecil di kampung akhirat kelak. Agama Majusi yang anda peluk
tidak menjadi kehormatan bagi bangsa Arab, seperti juga tidak dikenal oleh ahli
kitab. Sedang penganutnya melakukan perkawinan dengan.... (rasanya malu
untuk disebutkan di sini).”
“Mereka
makan apa yang tak layak dimakan serta menyembah api yang akan membakar hangus
diri mereka di hari kiamat. Anda bukan seorang yang tidak berakal, maka
renungkanlah. Apakah seseorang yang tak pernah berdusta di dunia ini, tak
pernah berkhianat dan tak ingkar akan janji, adakah seorang yang sedemikian itu
harus tidak dipercaya? Dialah seorang Nabi yang ummi. Dan demi Allah tak
seorang pun yang berakal dapat berkata, bahwa apa yang dilarang itulah yang
diperintahkan. Apa yang diperintahkan olehnya, itulah yang dilarang. Segala
yang datang darinya benar-benar sejalan dengan apa yang didambakan oleh semua
ahli pikir yang berpandangan jauh.”
Al-Mundzir
kemudian berkata: “Setelah aku berpikir tentang agamaku ini, agama Majusi, maka
kudapati bahwa agama itu hanya untuk dunia semata-mata, bukan untuk akhirat.
Dan setelah aku berpikir tentang agama Anda, saya berkesimpulan, bahwa agama
itu untuk dunia akhirat. Maka, apakah gerangan yang menghalangi diriku menerima
sesuatu agama, yang menjadi harapan dalam kehidupan ini dan kesenangan setelah
mati. Dahulu aku heran memang kepada yang menerima baik agama itu. Tapi kini
sebaliknya aku sangat heran kepada yang menolaknya. Dan dalam rangka
menghormati apa yang dibawa oleh Nabi SAW itu, maka utusan pribadinya yang
diutus kemari harus dihormati. Aku masih akan melihat perkembangan lebih jauh.”
Demikianlah raja AI-Mundzir mengakhiri pembicaraannya. Artinya, dia masih harus
melihat apa yang harus dilakukan terhadap Rasulullah SAW. Apakah akan pergi
langsung menemui atau cukup menjawab suratnya saja, bukan berarti masuk atau
tidak dalam Islam. Karena ucapannya, bahwa aku heran kepada siapa yang menolak
agama itu adalah pengakuan tegas, bahwa Islam adalah agama benar dan harus
diikuti.
Al-Muhajir
bin Umayyah Al-Makhzum saudara kandung Ummu Salamah istri Rasulullah yang
diutus oleh Nabi SAW kepada Al-Harj bin Khilal, Raja Himyar, kepada Al-Muhajir
berkata setelah berhasil menemuinya: “Ya, Harj. Anda adalah orang pertama yang
menerima tawaran langsung dari Nabi SAW. Maka janganlah berpaling darinya. Anda
seorang raja besar. Namun bila Anda melihat keagungan dan kebesaran kerajaan,
jangan lupa akan raja dari segala raja. Dan bila Anda selalu gembira, jangan
lupakan hari esok. Sebelum Anda, sudah banyak raja-raja yang lenyap sirna.
Hanya tinggal bekas dan ceritanya belaka. Mereka hidup lama, bercita-cita
tinggi, namun ada yang disambar almaut. Ada pula yang ditimpa
bencana. Sedang aku mengajak Anda,
kepada Tuhan Allah, bila Anda menghendaki petunjuk yang benar. Dia tidak
menolaknya. Dan apabila Dia menghendaki, tiada seorang pun dapat
menghalangi-Nya. Saya mengajak pula agar Anda percaya kepada Nabi yang ummi,
yang keindahan ajarannya tiada yang melebihi, dan larangannya tiada yang
lebih buruk dari padanya. Ketahuilah, bahwa ada Tuhan yang menghidupkan dan
mematikan Anda. Dia Maha Mengetahui gerak mata setiap orang dan apa yang
tersembunyi dalam dadanya.” (dikutip dari kitab Raudhul Unuf).
Hathib
bin Abi Balta’ah bercerita: “Aku diutus Rasulullah SAW membawa suratnya kepada
Muqauqis, raja muda yang bersemayam di Iskandariyah, Mesir. Sambutan baginda
kepadaku sangat ramah-tamah sekali. Setelah aku diterima dan tinggal di sana
selama beberapa hari, aku dipanggil menghadap baginda di ruang istananya, yang
telah penuh dengan pejabat-pejabat tinggi dan pimpinan gereja. Mereka datang
berkumpul di sana atas undangan Muqauqis tentunya. Setelah datang dan mengambil
tempat, baginda bertanya kepadaku: “Aku ingin berbicara dengan Anda, dan
harapanku agar memperhatikan benar-benar apa yang kubicarakan”.”
“Baiklah!
Silakan,” jawabku singkat.
“Cobalah
ceritakan kepadaku, siapakah gerangan kawanmu (Muhammad) itu?” Sambungnya lagi,
“Apakah dia itu benar-benar seorang Nabi?”
“Dia
benar-benar seorang Nabi utusan Allah,” jawabku lagi tegas. Kemudian baginda melanjutkan
pertanyaannya dan berkata: “Kalau demikian mengapa dia tidak memohon dan
berdo’a saja kepada Tuhan agar mengutuk dan menimpa azab kepada kaumnya yang
telah mengusir dan mengeluarkan dari negeri dan tanah airnya, hingga ia terpaksa pindah ke negeri
lain.”
Mendengar
itu, aku pun bertanya kembali dan kukatakan kepadanya: “Bagaimana pendapat
baginda, bahwa Isa adalah utusan Allah?”
“Ya benar,
dia utusan Allah,” jawab Muqauqis cepat.
“Apa
sebab Isa tatkala dikejar-kejar musuh musuhnya, akan dibunuh dan disalib tidak
berdo’a dan memohon kepada Tuhan, agar membinasakan manusia-manusia durhaka.
Dia sampai diangkat oleh Allah ke langit?” Demikianlah apa yang kukatakan
kepada Maqauqis, sambil kutatap mukanya yang cerah itu. Dia terdiam seakan
berpikir demi mendengarkan pertanyaan yang tak diduga itu. Lalu baginda
berkata: “Bagus! Bagus! Anda seorang yang bijak diutus oleh Rasul yang bijak
pula.”
Dia lalu
mengirim hadiah pada Rasulullah SAW yang berharga berupa pakaian dan
barang-barang lain. Di antara hadiah hadiah itu, tiga budak perempuan. Seorang
yang bernama Mariyah Qibtiyah kemudian dikawin oleh Nabi SAW dan melahirkan
anak laki-laki yaitu Ibrahim. Sedang kedua Iainnya dikawin oleh Abu Jaham bin
Huzaifah Al-Adawy, dan Hasan bin Tsabit Al-Anshary.
No comments:
Post a Comment