05 May, 2015

INSAN KAMIL : Cara Nabi Memilih Utusan



INSAN  KAMIL
SOSOK  KETELADANAN  MUHAMMAD  SAW
Karya :
DR.Sayyid Muhammad Alwy al-Maliki

  
BAB  I
Bakat  dan  Sifat  Nabi

Kelanjutan dari Keluwesan Nabi SAW

M.   Cara Nabi Memilih Utusan

Kesempurnaan akal pikiran Nabi SAW terbukti pula dalam memilih utusan yang cerdik pandai untuk dikirim ke raja dan para penguasa untuk menyampaikan dakwah islamiyah melalui penjelasan dan penerangan, dan dapat diterima. Hal itu terbukti dalam sejarah, betapa utusan Nabi SAW itu mengetengahkan dan menguraikan tentang Islam dan ajarannya di hadapan para penguasa dan raja-raja. Betapa pula kemantapan dalih yang diucapkan, di samping kelincahan dan kelancaran dalam berdialog dan berbicara.

Alaa’ bin Hadhramy yang diutus Nabi pada raja Al-Mundzir bin Sawaa, membawa sepucuk surat beliau dalam dialognya dengan raja tersebut antara lain berkata: “Wahai Mundzir, Anda adalah seorang besar, tentu besar pula dalam berpikir, maka janganlah menjadi kecil di kampung akhirat kelak. Agama Majusi yang anda peluk tidak menjadi kehormatan bagi bangsa Arab, seperti juga tidak dikenal oleh ahli kitab. Sedang penganutnya melakukan perkawinan dengan.... (rasanya malu untuk disebutkan di sini).”

“Mereka makan apa yang tak layak dimakan serta menyembah api yang akan membakar hangus diri mereka di hari kiamat. Anda bukan seorang yang tidak berakal, maka renungkanlah. Apakah seseorang yang tak pernah berdusta di dunia ini, tak pernah berkhianat dan tak ingkar akan janji, adakah seorang yang sedemikian itu harus tidak dipercaya? Dialah seorang Nabi yang ummi. Dan demi Allah tak seorang pun yang berakal dapat berkata, bahwa apa yang dilarang itulah yang diperintahkan. Apa yang diperintahkan olehnya, itulah yang dilarang. Segala yang datang darinya benar-benar sejalan dengan apa yang didambakan oleh semua ahli pikir yang berpandangan jauh.”

Al-Mundzir kemudian berkata: “Setelah aku berpikir tentang agamaku ini, agama Majusi, maka kudapati bahwa agama itu hanya untuk dunia semata-mata, bukan untuk akhirat. Dan setelah aku berpikir tentang agama Anda, saya berkesimpulan, bahwa agama itu untuk dunia akhirat. Maka, apakah gerangan yang menghalangi diriku menerima sesuatu agama, yang menjadi harapan dalam kehidupan ini dan kesenangan setelah mati. Dahulu aku heran memang kepada yang menerima baik agama itu. Tapi kini sebaliknya aku sangat heran kepada yang menolaknya. Dan dalam rangka menghormati apa yang dibawa oleh Nabi SAW itu, maka utusan pribadinya yang diutus kemari harus dihormati. Aku masih akan melihat perkembangan lebih jauh.” Demikianlah raja AI-Mundzir mengakhiri pembicaraannya. Artinya, dia masih harus melihat apa yang harus dilakukan terhadap Rasulullah SAW. Apakah akan pergi langsung menemui atau cukup menjawab suratnya saja, bukan berarti masuk atau tidak dalam Islam. Karena ucapannya, bahwa aku heran kepada siapa yang menolak agama itu adalah pengakuan tegas, bahwa Islam adalah agama benar dan harus diikuti.

Al-Muhajir bin Umayyah Al-Makhzum saudara kandung Ummu Salamah istri Rasulullah yang diutus oleh Nabi SAW kepada Al-Harj bin Khilal, Raja Himyar, kepada Al-Muhajir berkata setelah berhasil menemuinya: “Ya, Harj. Anda adalah orang pertama yang menerima tawaran langsung dari Nabi SAW. Maka janganlah berpaling darinya. Anda seorang raja besar. Namun bila Anda melihat keagungan dan kebesaran kerajaan, jangan lupa akan raja dari segala raja. Dan bila Anda selalu gembira, jangan lupakan hari esok. Sebelum Anda, sudah banyak raja-raja yang lenyap sirna. Hanya tinggal bekas dan ceritanya belaka. Mereka hidup lama, bercita-cita tinggi, namun ada yang disambar almaut. Ada pula yang ditimpa bencana.  Sedang aku mengajak Anda, kepada Tuhan Allah, bila Anda menghendaki petunjuk yang benar. Dia tidak menolaknya. Dan apabila Dia menghendaki, tiada seorang pun dapat menghalangi-Nya. Saya mengajak pula agar Anda percaya kepada Nabi yang ummi, yang keindahan ajarannya tiada yang melebihi, dan larangannya tiada yang lebih buruk dari padanya. Ketahuilah, bahwa ada Tuhan yang menghidupkan dan mematikan Anda. Dia Maha Mengetahui gerak mata setiap orang dan apa yang tersembunyi dalam dadanya.” (dikutip dari kitab Raudhul Unuf).

Hathib bin Abi Balta’ah bercerita: “Aku diutus Rasulullah SAW membawa suratnya kepada Muqauqis, raja muda yang bersemayam di Iskandariyah, Mesir. Sambutan baginda kepadaku sangat ramah-tamah sekali. Setelah aku diterima dan tinggal di sana selama beberapa hari, aku dipanggil menghadap baginda di ruang istananya, yang telah penuh dengan pejabat-pejabat tinggi dan pimpinan gereja. Mereka datang berkumpul di sana atas undangan Muqauqis tentunya. Setelah datang dan mengambil tempat, baginda bertanya kepadaku: “Aku ingin berbicara dengan Anda, dan harapanku agar memperhatikan benar-benar apa yang kubicarakan”.”

“Baiklah! Silakan,” jawabku singkat.

“Cobalah ceritakan kepadaku, siapakah gerangan kawanmu (Muhammad) itu?” Sambungnya lagi, “Apakah dia itu benar-benar seorang Nabi?”

“Dia benar-benar seorang Nabi utusan Allah,” jawabku lagi tegas. Kemudian baginda melanjutkan pertanyaannya dan berkata: “Kalau demikian mengapa dia tidak memohon dan berdo’a saja kepada Tuhan agar mengutuk dan menimpa azab kepada kaumnya yang telah mengusir dan mengeluarkan dari negeri dan tanah airnya, hingga ia terpaksa pindah ke negeri lain.”

Mendengar itu, aku pun bertanya kembali dan kukatakan kepadanya: “Bagaimana pendapat baginda, bahwa Isa adalah utusan Allah?”

Ya benar, dia utusan Allah,” jawab Muqauqis cepat.

“Apa sebab Isa tatkala dikejar-kejar musuh musuhnya, akan dibunuh dan disalib tidak berdo’a dan memohon kepada Tuhan, agar membinasakan manusia-manusia durhaka. Dia sampai diangkat oleh Allah ke langit?” Demikianlah apa yang kukatakan kepada Maqauqis, sambil kutatap mukanya yang cerah itu. Dia terdiam seakan berpikir demi mendengarkan pertanyaan yang tak diduga itu. Lalu baginda berkata: “Bagus! Bagus! Anda seorang yang bijak diutus oleh Rasul yang bijak pula.”

Dia lalu mengirim hadiah pada Rasulullah SAW yang berharga berupa pakaian dan barang-barang lain. Di antara hadiah hadiah itu, tiga budak perempuan. Seorang yang bernama Mariyah Qibtiyah kemudian dikawin oleh Nabi SAW dan melahirkan anak laki-laki yaitu Ibrahim. Sedang kedua Iainnya dikawin oleh Abu Jaham bin Huzaifah Al-Adawy, dan Hasan bin Tsabit Al-Anshary.

No comments:

Sebelumnya Selanjutnya Home