04 May, 2015

INSAN KAMIL : Kesempurnaan Akal Nabi



INSAN  KAMIL
SOSOK  KETELADANAN  MUHAMMAD  SAW
Karya :
DR.Sayyid Muhammad Alwy al-Maliki



BAB  I
Bakat  dan  Sifat  Nabi


J.   Kesempurnaan Akal Nabi

Akal yang sempurna, adalah pokok pangkal segala sifat yang terpuji dan pendorong kepada tingkah laku yang terarah. Dengan petunjuk akal, dapat dibedakan antara yang baik dan yang buruk, serta membawa seseorang mencapai sesuatu yang lebih utama.

Kisah masuknya Khalid Bin Walid ke dalam agama Islam, tatkala ia datang menghadap Nabi SAW setelah ia mengucapkan salam: “Ya Rasulullah, saya menyaksikan, bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan engkau adalah utusan-Nya.” Nabi lalu mempersilakan masuk dan duduk, kemudian Nabi berkata kepadanya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepadamu. Memang saya melihatmu seorang yang berakal sehat. Maka kuharap kiranya sebagai akal itu membawamu kepada segala hal yang baik.”

At-Thabrany, meriwayatkan dari Ghurrah bin Hurairah, tatkala Khalid datang menghadap Nabi SAW berkata kepadanya: “Kami yang selama ini menyembah berhala sebagai Tuhan, berseru memanggilnya. Namun benda mati itu, tidak sanggup menjawab. Kami mencoba meminta darinya, akan tetapi ia tidak pernah memberi sesuatu kepada kami. Lalu Allah memberi petunjuk dan hidayah-Nya, kami sekarang menyembah kepada Allah semata”. Maka Nabi menyambut dengan sabdanya: “Bahagia benar siapa yang dikaruniai akal oleh Tuhan.”

Dan bahwa akal pikiran Nabi SAW telah mencapai puncak kesempurnaan yang tidak pernah dicapai oleh siapa pun juga, sebagai nikmat karunia Allah kepadanya, hal itu telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu, (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.” (Al-Qalam: 1-2). Artinya; engkau wahai Muhammad, akal pikiranmu berada di tingkat yang tertinggi. Tuhan yang bersumpah dengan Nun, yang berarti limpahan karunia Ilahi, dan bersumpah lagi dengan Al-qalam, pena yang berada di alam tertinggi. Dan pernah suaranya (Al-qalam) didengar oleh Nabi, tatkala menulis segala sesuatu, yang ada, yang sedang, dan yang akan terjadi, Allah bersumpah dengan makhluk-makhluk yang agung itu, untuk menegaskan luas dan cerdas akal pikiran Nabi SAW dan jauh dari sifat hilang atau kekurangan akal.

Dia yang berakal sempurna, berilmu luas, betapa tidak, bukanlah Allah memberikan kepadanya nikmat dan karunia kenabian dan kerasulan. Kepadanya Al-Qur’an wahyu Ilahi yang penuh berisi segala ilmu pengetahuan yang hanya bisa diemban oleh orang yang dikaruniai Tuhan, akal dan pikiran paling sempurna.

Oleh karena dia bukan seorang yang kehilangan atau kekurangan akal pikiran. Ayat ini dengan tegas dan jelas membantah apa yang dituduhkan oleh lawan-lawannya, yang kafir dan ingkar kepadanya. Karena tidak logis dan tidak dapat digambarkan, bahwa seseorang yang datang membawa Al-Qur’an yang penuh berisi hikmah, ilmu, dan pengetahuan itu tidak berakal dan berpikir sempurna.

Wahib bin Munabbih, seorang tabi’in, dan darinya Imam Bukhari dan Imam Muslim menerima beberapa hadis, berkata: “Saya telah membaca tujuh puluh satu kitab, yang diturunkan Allah dahulu kepada para Nabinya. Di dalam semua kitab itu saya dapati, bahwa perbandingan akal pikiran yang dikaruniakan Allah kepada manusia, dengan akal pikiran Muhammad SAW ibarat sebutir pasir dibandingkan dengan pasir-pasir yang ada di dunia ini,” demikianlah yang tersebut dalam Syarhul Mawahib.

Dan kesempurnaan akal Nabi SAW serta pandangannya yang jauh, jelas terlihat, dalam sikapnya menghadapi masyarakat sekelilingnya, yang telah dilanda kemelut jahiliyah dalam semua segi kehidupannya. Akal manusia yang telah sesat itu, tidak mudah diubah menjadi akal budi yang lurus, benar, dan sehat. Untuk itu memerlukan seorang pemimpin yang berpandangan jauh, berpikir jernih, dan tidak ragu lagi bahwa ajaran yang ditegakkan oleh beliau itu, bersumberkan wahyu Tuhan seru sekalian alam. Akan tetapi ajaran Tuhan itu membutuhkan akal pikiran yang cemerlang dan disiapkan secara khusus bagi yang mengemban tugas berat itu.

Kesempurnaan akal Nabi SAW juga terlihat pada cara beliau berdialog dengan penyembah-penyembah berhala, dan dalil-dalil mantap yang dikemukakan terhadap golongan Yahudi dan Nasrani, yang tak terbantahkan dan tak sanggup disangkal dan diingkari.

Demikian juga akal pikiran beliau, terbukti kesempurnaannya dalam cara pengarahannya kepada pemuda yang datang meminta izin agar ia diperkenankan melakukan zina dan perbuatan mesum, Nabi SAW lalu bertanya kepadanya, “Sukakah perbuatan keji itu dilakukan orang terhadap ibumu? Atau terhadap saudara perempuanmu? Atau terhadap putrimu sendiri?” Pemuda itu menjawab tegas: “Tidak!”.

“Demikian pula setiap orang tidak ada yang menyukai perbuatan itu dilakukan terhadap keluarganya,” sambung Nabi menjelaskan. Maka timbullah kesadaran dan keinsyafan dalam hati pemuda itu, kemudian ia berkata: “Saksikanlah Ya Rasulullah, bahwa aku benar-benar bertaubat dari perbuatan durjana itu.”

Kesempurnaan akal pikiran Nabi SAW tampak juga dalam pengambilan suatu keputusan secara tepat dan bijaksana, seperti yang terjadi ketika suku Quraisy terlibat dalam pertentangan dan saling sengketa, siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad ke tempat semula di Ka’bah Baitullah?

Hubairah bin Wahib menceritakan peristiwa itu sebagai berikut: Setelah suku Quraisy selesai memugar Ka’bah, maka timbullah perselisihan siapakah gerangan yang paling mustahaq (berhak) mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula? Setiap kabilah dan kelompok sama mengingininya, karena hal itu dipandang sebagai kehormatan dan kemuliaan yang tiada taranya, sehingga terjadi perselisihan dan pertentangan sengit. Bahkan suasana sudah sedemikian panasnya mengarah pada suatu pertumpahan darah dan perang saudara, dengan segala akibatnya yang menyedihkan. Suasana yang kian lama kian tegang itu, berlangsung empat atau lima hari.

Selanjutnya, mereka bermusyawarah di dalam masjid Al-Haram, dan bersepakat bulat, memutuskan “Siapa pun yang datang pertama kali dan memasuki masjid hari ini dialah yang akan diserahi untuk memutuskan perkara yang pelik itu.” Semuanya sama berikrar dan berjanji akan mematuhi keputusan itu. Dan Nabi SAW-lah yang pertama datang dan masuk pintu masjid hari itu. Maka semua merasa gembira dan serentak berkata: “Tepat sekali dialah seorang yang jujur (Al Amien). Kita semua akan menerima dengan senang hati segala keputusan yang akan diambilnya.” Maka Nabi mengambil sehelai sorban yang telah terbentang dan minta agar tiap kepala kabilah, memegang ujung sorban yang telah terbentang itu, yang di atasnya Hajar Aswad telah diletakkan. Kemudian sorban diangkat bersama-sama. Setelah sampai dekat tempatnya semula, maka Beliau sendiri yang meletakkannya. Dengan keputusan yang bijaksana, maka kemelut yang nyaris membawa petaka itu dapat diselesaikan. Memuaskan semua pihak yang berselisih, dan diterima dengan perasaan lega.

No comments:

Sebelumnya Selanjutnya Home