INSAN KAMIL
SOSOK
KETELADANAN MUHAMMAD SAW
Karya :
DR.Sayyid Muhammad Alwy al-Maliki
BAB I
Bakat dan Sifat
Nabi
Kelanjutan dari Uraian Hikmah Pembelahan Dada
J. Kesempurnaan Akal Nabi
Akal
yang sempurna, adalah pokok pangkal segala sifat yang terpuji dan pendorong
kepada tingkah laku yang terarah. Dengan petunjuk akal, dapat dibedakan antara
yang baik dan yang buruk, serta membawa seseorang mencapai sesuatu yang lebih
utama.
Kisah
masuknya Khalid Bin Walid ke dalam agama Islam, tatkala ia datang menghadap
Nabi SAW setelah ia mengucapkan salam: “Ya Rasulullah, saya menyaksikan, bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Dan engkau adalah utusan-Nya.” Nabi lalu
mempersilakan masuk dan duduk, kemudian Nabi berkata kepadanya: “Segala puji
bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepadamu. Memang saya melihatmu seorang
yang berakal sehat. Maka kuharap kiranya sebagai akal itu membawamu kepada
segala hal yang baik.”
At-Thabrany,
meriwayatkan dari Ghurrah bin Hurairah, tatkala Khalid datang menghadap Nabi
SAW berkata kepadanya: “Kami yang selama ini menyembah berhala sebagai Tuhan,
berseru memanggilnya. Namun benda mati itu, tidak sanggup menjawab. Kami
mencoba meminta darinya, akan tetapi ia tidak pernah memberi sesuatu kepada
kami. Lalu Allah memberi petunjuk dan hidayah-Nya, kami sekarang menyembah
kepada Allah semata”. Maka Nabi menyambut dengan sabdanya: “Bahagia benar siapa
yang dikaruniai akal oleh Tuhan.”
Dan
bahwa akal pikiran Nabi SAW telah mencapai puncak kesempurnaan yang tidak
pernah dicapai oleh siapa pun juga, sebagai nikmat karunia Allah kepadanya, hal
itu telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Nun, demi kalam dan apa
yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu, (Muhammad) sekali-kali bukan orang
gila.” (Al-Qalam: 1-2). Artinya; engkau wahai Muhammad, akal pikiranmu
berada di tingkat yang tertinggi. Tuhan yang bersumpah dengan Nun, yang berarti
limpahan karunia Ilahi, dan bersumpah lagi dengan Al-qalam, pena yang berada di
alam tertinggi. Dan pernah suaranya (Al-qalam) didengar oleh Nabi, tatkala
menulis segala sesuatu, yang ada, yang sedang, dan yang akan terjadi, Allah
bersumpah dengan makhluk-makhluk yang agung itu, untuk menegaskan luas dan
cerdas akal pikiran Nabi SAW dan jauh dari sifat hilang atau kekurangan akal.
Dia yang
berakal sempurna, berilmu luas, betapa tidak, bukanlah Allah memberikan
kepadanya nikmat dan karunia kenabian dan kerasulan. Kepadanya Al-Qur’an wahyu
Ilahi yang penuh berisi segala ilmu pengetahuan yang hanya bisa diemban oleh
orang yang dikaruniai Tuhan, akal dan pikiran paling sempurna.
Oleh
karena dia bukan seorang yang kehilangan atau kekurangan akal pikiran. Ayat ini
dengan tegas dan jelas membantah apa yang dituduhkan oleh lawan-lawannya, yang
kafir dan ingkar kepadanya. Karena tidak logis dan tidak dapat digambarkan,
bahwa seseorang yang datang membawa Al-Qur’an yang penuh berisi hikmah, ilmu,
dan pengetahuan itu tidak berakal dan berpikir sempurna.
Wahib
bin Munabbih, seorang tabi’in, dan darinya Imam Bukhari dan Imam Muslim
menerima beberapa hadis, berkata: “Saya telah membaca tujuh puluh satu kitab,
yang diturunkan Allah dahulu kepada para Nabinya. Di dalam semua kitab itu saya
dapati, bahwa perbandingan akal pikiran yang dikaruniakan Allah kepada manusia,
dengan akal pikiran Muhammad SAW ibarat sebutir pasir dibandingkan dengan pasir-pasir
yang ada di dunia ini,” demikianlah yang tersebut dalam Syarhul Mawahib.
Dan
kesempurnaan akal Nabi SAW serta pandangannya yang jauh, jelas terlihat, dalam
sikapnya menghadapi masyarakat sekelilingnya, yang telah dilanda kemelut
jahiliyah dalam semua segi kehidupannya. Akal manusia yang telah sesat itu,
tidak mudah diubah menjadi akal budi yang lurus, benar, dan sehat. Untuk itu
memerlukan seorang pemimpin yang berpandangan jauh, berpikir jernih, dan tidak
ragu lagi bahwa ajaran yang ditegakkan oleh beliau itu, bersumberkan wahyu
Tuhan seru sekalian alam. Akan tetapi ajaran Tuhan itu membutuhkan akal pikiran
yang cemerlang dan disiapkan secara khusus bagi yang mengemban tugas berat itu.
Kesempurnaan
akal Nabi SAW juga terlihat pada cara beliau berdialog dengan
penyembah-penyembah berhala, dan dalil-dalil mantap yang dikemukakan terhadap
golongan Yahudi dan Nasrani, yang tak terbantahkan dan tak sanggup disangkal
dan diingkari.
Demikian
juga akal pikiran beliau, terbukti kesempurnaannya dalam cara pengarahannya
kepada pemuda yang datang meminta izin agar ia diperkenankan melakukan zina dan
perbuatan mesum, Nabi SAW lalu bertanya kepadanya, “Sukakah perbuatan keji itu
dilakukan orang terhadap ibumu? Atau terhadap saudara perempuanmu? Atau
terhadap putrimu sendiri?” Pemuda itu menjawab tegas: “Tidak!”.
“Demikian
pula setiap orang tidak ada yang menyukai perbuatan itu dilakukan terhadap
keluarganya,” sambung Nabi menjelaskan. Maka timbullah kesadaran dan keinsyafan
dalam hati pemuda itu, kemudian ia berkata: “Saksikanlah Ya Rasulullah, bahwa
aku benar-benar bertaubat dari perbuatan durjana itu.”
Kesempurnaan
akal pikiran Nabi SAW tampak juga dalam pengambilan suatu keputusan secara
tepat dan bijaksana, seperti yang terjadi ketika suku Quraisy terlibat dalam
pertentangan dan saling sengketa, siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad ke
tempat semula di Ka’bah Baitullah?
Hubairah
bin Wahib menceritakan peristiwa itu sebagai berikut: Setelah suku Quraisy
selesai memugar Ka’bah, maka timbullah perselisihan siapakah gerangan yang
paling mustahaq (berhak) mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula? Setiap
kabilah dan kelompok sama mengingininya, karena hal itu dipandang sebagai
kehormatan dan kemuliaan yang tiada taranya, sehingga terjadi perselisihan dan
pertentangan sengit. Bahkan suasana sudah sedemikian panasnya mengarah pada
suatu pertumpahan darah dan perang saudara, dengan segala akibatnya yang
menyedihkan. Suasana yang kian lama kian tegang itu, berlangsung empat atau
lima hari.
Selanjutnya,
mereka bermusyawarah di dalam masjid Al-Haram, dan bersepakat bulat, memutuskan
“Siapa pun yang datang pertama kali dan memasuki masjid hari ini dialah yang
akan diserahi untuk memutuskan perkara yang pelik itu.” Semuanya sama berikrar
dan berjanji akan mematuhi keputusan itu. Dan Nabi SAW-lah yang pertama datang
dan masuk pintu masjid hari itu. Maka semua merasa gembira dan serentak
berkata: “Tepat sekali dialah seorang yang jujur (Al Amien). Kita semua akan
menerima dengan senang hati segala keputusan yang akan diambilnya.” Maka Nabi
mengambil sehelai sorban yang telah terbentang dan minta agar tiap kepala
kabilah, memegang ujung sorban yang telah terbentang itu, yang di atasnya Hajar
Aswad telah diletakkan. Kemudian sorban diangkat bersama-sama. Setelah sampai
dekat tempatnya semula, maka Beliau sendiri yang meletakkannya. Dengan
keputusan yang bijaksana, maka kemelut yang nyaris membawa petaka itu dapat
diselesaikan. Memuaskan semua pihak yang berselisih, dan diterima dengan
perasaan lega.
No comments:
Post a Comment